Persepsi gue nehhh....

REVOLUSI MENTAL, visi pemerintahan saat ini yang memimpikan bangsa dengan karakter yang kuat, tangguh dan bermartabat.
Adalah guru yang merupakan salah satu pionir dalam usaha menjadikan visi itu menjadi sebuah kenyataan yang membanggakan. Bagaimana tidak? Jika Indonesia mampu menghasilkan generasi-generasi berkarakter kuat dan bermartabat, maka insya alloh, dengan izinNya, negara tersebut mampu memimpin dan mengadakan perubahan yang masif. Semoga.
Terkadang, guru juga harus mampu berorasi dengan hebat, karena kemampuan orasi inilah yang mampu menimbulkan semangat perubahan serta memberikan rasa percaya diri dalam diri calon-calon generasi berikutnya.
Guru adalah role model bagi anak muridnya. Perkataan inilah yang menjadi dasar bahwa setiap guru harus tampil perfect dihadapan anak muridnya. Semuanya dinilai. Mulai dari penampilan, cara berorasi, cara menyampaikan materi, problem solving hingga ciri khas yang dimiliki sang guru. Padahal guru juga manusia lho, tak terkecuali saya.
Tuntutan baik dari segi administrasi, management kelas, sosial antar teman, keinginan kepala atau bahkan keinginan yayasan membuat guru harus fleksibel dalam menempatkan dirinya, namun, ada juga yang sampai mempengaruhi segi psikis para pelaku lapangan tersebut. Mudah marah, kadang kekerasan verbal mudah terjadi, apalagi jika ada target waktu terselesaikannya suatu pekerjaan membuat kita lepas kendali. Padahal yang kita 'pegang' adalah calon generasi yang mungkin menjadi pemimpin 20 tahun ke depan, saat kita sudah tak berdaya. Itu sering terjadi, tak terkecuali saya.
Bagi para guru, terkadang kemarahan yang keras perlu ditunjukkan sebagai jalan pintas mendapatkan kenyamanan dalam jangka panjang. Coba perhatikan, terkadang saking parahnya afeksi peserta didik saat ini, mereka mampu mengklasifikasikan antara guru killer, guru baik, guru nyasar, guru bayar dan segudang cap yang mungkin kita tidak tahu melekat pada diri kita. Jika ada penelitian yang merekayasa suatu kejadian untuk mengetahui cara guru melakukan problem solving, maka pasti tidak ada satupun peserta didik yang mau ambil bagian dalam rekayasa mencari tahu guru killer dalam melakukan problem solving, karena sudah terbayang di benak mereka kesulitan-kesulitan yang akan menanti mereka. Maka, idiom kekerasan wajar melekat karena keharusan guru untuk bersikap fleksibel dan praktis, tak terkecuali saya.
Tapi bukan idiom kekerasannya yang ingin saya bahas disini karena sudah begitu banyak penelitian yang menjadikan itu sebagai bahan ajuan mereka. Tidakkah guru masih punya satu senjata lagi ?
Berkaca pada 14 abad yang lalu, ada seorang guru besar yang mampu mengubah sebuah peradaban yang luar biasa bodohnya menjadi sebuah peradaban yang sangat mulia, dimana generasi yang terlahir diabad itu menjadi generasi yang dijadikan suri tauladan bahkan hingga saat ini.
Ya, benar. Bagi saya pribadi, guru besar sekaligus idola saya adalah Nabi Muhammad SAW. Guru yang sanggup membuat perubahan pada murid yang sedemikian buas serta tercela akhlaknya menjadi sosok yang dikagumi serta mampu mengukir prestasi baik segi material maupun immaterial.
Apa yang bisa kita contoh dari Nabi Muhammad SAW ?
Berdakwah dan mengajar itu seperti setali tiga uang. Sama. Sama-sama membutuhkan kreatifitas, kemampuan orasi, penyampaian materi. Tidak semua murid mampu mengamalkan materi yang dia pelajari sampai pada taraf kehidupan, dan gurulah yang mampu membuat hal itu terjadi.
Jadi, apa seni yang harus dimiliki para guru insan cendikia ini?
Bagi saya, sosok guru yang ideal adalah guru yang memiliki kepandaian dalam mengungkapkan 'perkataan yang berat' (qaulan tsaqila).
Perkataan yang berat ini adalah perkataan yang tidak hanya mampir pada telinga para peserta didik, namun dapat hinggap di hati sanubari. Itulah perubahan yang luar biasa.
Perkataan yang berat adalah perkataan yang sejalan dengan perbuatan, tidak hanya sebatas dibibir, dan setiap guru memiliki kepiawaian itu. Itu pasti, jika memang panggilan jiwanya adalah seorang guru, seorang pengingat. Diksi kalimat bisa saja kasar atau bisa saja lembut, namun siapa yang tau apakah kalimat itu mampu menggetarkan hati para peserta didiknya atau hanya dianggap angin lalu.
Mengubah itu haknya Alloh SWT. Kita mungkin dapat mencontek pilihan kata yang terlontar dari seorang guru dan dipraktekkan di kelas kita, namun belum tentu lho, dampaknya akan sama dengan guru yang kita contek itu. Guru juga manusia.
Oleh karenanya wahai para guru. Mulai dari sekarang lakukan perubahan dalam melakukan pendekatan. Karena jika kita hanya mementingkan keterampilan kognisi dan mengesampingkan keterampilan afeksi, maka suatu saat keberadaan kita akan tergantikan dengan teknologi. Saya hanya berharap pelabelan guru itu hanya sebuah prasangka semata karena itu hanya bisa menghambat dan cukup menghambat.
Menghadapi MEA, tak seharusnya guru merasa gentar, karena setiap guru memiliki ciri khasnya masing-masing. Tak bisa dipukul rata, seperti halnya murid-murid yang juga tidak ingin dipukul rata, eeehhh... maksudnya karakter muridnya nggak semuanya bandel, minta perhatian, dan seterusnya, dan seterusnya. Emang mau pribadi kita disamain dengan pribadi orang lain. Mana enak bermain dengan bidak yang sama, kata buku sih begitu  > , <
Tetapi tetap kreatifitas perlu ditingkatkan karena seni selalu tercipta dari waktu ke waktu.

Ini hanya sebatas persepsi sang penulis
Yang merasa sesuai monggo, yang tidak setuju jangan diambil hati
Wong, ini cuman sebatas latihan menulis.
Yang kuyakini, kebenaran dari ini sifatnya relatif, tergantung sudut pandang, pengalaman dan ilmu yang dimiliki masing-masing individu insan cendikia. Moga peran kita sebagai guru tak tergantikan meski jaman terus berubah. Amin



Comments

Popular posts from this blog

Tasawwul (Meminta-minta)