Diary, 6 Desember 2011

OK bloggers mania.. Ini hari yang agak nahas buatku. Pasalnya aku bertengkar dengan partnerku didepan anak-anak didikku. Bukan aku yang memulai lho, tapi kebiasaan buruk beliau jika mau menjatuhkan partnernya agar nantinya, dominasinya akan kelas akan kembali pada beliau. Tapi, aku yang sudah mengerti akan bahaya perilaku ini tentunya nggak akan menerima begitu saja. Akhirnya kupakailah prinsip kalah-kalah. Dia kusuruh introspeksi sementara si partnerku ini trus saja mencela hal-hal yang bukan prinsipil.
Emang masalahnya apa?
Begini, disekolahku khan ada hal-hal yang telah dibakukan. Dan dalam kelas rendah, hal-hal yang telah dibakukan itu wajib dikerjakan oleh anak-anak dan diawasi oleh para wali kelas baik wali kelas utama maupun pendamping. Si partnerku ini merasa bahwa aku kurang menguasai kelas, padahal jika aku melihat, bahwasanya dialah yang tidak menguasai kelas karena anak-anak lebih kena akan kontrak belajar yang aku buat. Salah sendiri, kenapa pas aku mau buat kontrak belajar, dia nggak mau ikutan berpartisipasi. Nah, jadilah setelah makan siang, aku dipangggil rekanku itu untuk mengobrol didalam kelas. Di meja guru. Saat itu anak-anak sedang bermain karena telah selesai kegiatan makan siang. Aku pikir mau ngobrol apa, ternyata dia ingin mengeluh tentang kinerjaku. Didepan anak-anak pula.
Sebenarnya, aku suka jika ada yang mengkritikku. Tapi sebagai guru, kurang bijaksana jika kita mengkritik partner kita di hadapan anak didik. Wong partner kita yang membantu mengelola kelas. Andaikan perkataan partner kita tak didengar anak-anak karena wibawa sang partner jatuh, bukankah dia sendiri yang akan capek nantinya mengurus permasalahan kelas sendiri.
Aku sering merasakan kekejamannya, terutama ketika tahun pertama aku mengajar di tempatku berpartner dengan dia. Dia memang sportif. Mau menunjukkan hal yang sekecil-kecilnya, mungkin dengan tujuan agar aku memperbaiki diri kali ya. Awalnya, aku menganggap seperti itu. Lalu, semester dua, kuperbaiki diriku. Kubuat kesepakatan bersama dengan kelas itu. Dan, alhamdulillah, aku mulai bisa mendominasi kelas. Namun, ternyata keberhasilanku mendominasi kelas tak berlangsung lama. Selang beberapa hari, aku dipanggil dengan partnerku dan mengobrol berhadapan di meja guru, saat anak-anak sedang mengerjakan ujian, dan dia mengeluhkan kinerjaku. Aku bingung. Apa yang salah ? Bukankah kinerjaku telah kuperbaiki sedikit demi sedikit ? Lalu kenapa dia mengeluh ?
Setelah kejadian itu, aku kembali tak dituruti perkataanku oleh beberapa anak. Kebanyakan anak laki-laki. Kembali aku menjadi bayangan partnerku (itu yang sering dia katakan, saat aku disuruh mengendalikan kelas namun aku nggak bisa). Dalam hatiku, gimana aku mengendalikan kelas, sedangkan dirimu telah menjatuhkan wibawaku didepan para murid?
Nah, sekarang, setelah beberapa hari dia nggak masuk dan aku sudah mampu mengkondusifkan kelas, eh... mulai lagi dia dengan taktiknya itu. Padahal sudah kuingatkan ; "Pak, kurang bijaksana membicarakan masalah didepan anak-anak !" tetap saja dia ngeloyor dengan persepsinya. Akhirnya, aku nggak terima, aku juga salahkan hal-hal yang menurutku prinsipal tapi menurutnya tidak, seperti tidak adanya beliau saat mengawasi kegiatan-kegiatan sekolah yang dibakukan (Kalau disekolah lain mungkin berbaris, sarapan, shalat, baca iqra, dsb). Kesannya seperti menyerahkan tanggung jawab seluruhnya padaku yang merupakan wali kelas pendamping. Trus, perannya sebagai wali kelas utama tuh apa?
Kini aku mengerti, kenapa banyak rekan yang terkadang berbicara negatif tentangnya. Dia mau mengkritik namun mampu berkelit ketika kita minta beliau mengintrospeksi dirinya. Jadilah disitu aku gambling. Sama-sama kalah. Aku nggak mau dong kalo dominasi kelas yang sudah susah payah kubangun jadi rusak karena kejadian sebentar ini. Aku nggak mau dong wibawaku turun. Aku nggak mau dong perubahan yang aku buat dianggap angin lalu. Lalu, apa yang dia perbuat untuk meningkatkan kualitasnya sebagai sesama wali kelas yang mengelola kelas yang sama.
Meskipun begitu, aku juga bersyukur. Dia menunjukkan kesalahanku sampai ke hal yang sekecil-kecilnya. Dan aku akan belajar. Hanya, memang saudara-saudara. Menghadapi partner yang sulit itu bukan main susahnya. Butuh kesabaran luar biasa. Aku berharap, pria yang menjadi suamiku kelak adalah pria yang bisa bekerja sama denganku dalam mengelola kehidupan. Baik kelebihan maupun kekurangan, semoga bisa bekerja sama.
Aku nggak bisa memprediksi bagaimana besok. Gambling. Dominasi siapa nanti yang akan memiliki kans terbanyak di kelas. Meskipun begitu, aku berusaha meminimalkan dualisme karena akan menimbulkan masalah yang lebih besar daripada ini. Sudah pernah terjadi di kelas yang lain dan aku belajar dari itu.
Semoga hari esok dapat memberikan pelajaran yang lain buatku. Amin.

Comments

Popular posts from this blog

Tasawwul (Meminta-minta)