Diary, 28 November 2011

Baiklah bloggers mania, hari ini, sebelum aku melukiskan kisahku, aku ingin mengucapkan selamat pada diriku karena sudah mampu mengolah mood dan bisa sedikit lepas dari tekanan. Ternyata benar, kalau kita mau disiplin, kita akan memegang kendali.
Hari ini akan kuceritakan ketakutanku yang membuatku tidak disiplin dalam menjalankan tugasku sebagai pengajar dan juga wali kelas.
Sebelumnya, akan kuperkenalkan sistem pengajaran yang digunakan disetiap kelas tempatku mengajar. Ada 6 tingkatan di sekolah itu yakni dari tingkat 1 sampai dengan 6. Untuk upper class itu dari kelas 4 - 6, biasanya hanya dipegang oleh 1 wali kelas, sedangkan lower class yakni dari kelas 1 sampai kelas 3, dipegang oleh 2 wali kelas yakni wali kelas utama dan pendamping.
Kebetulan, aku wali kelas pendamping kelas 3 SD. Di sekolah itu, yang namanya lower class, sistem pembelajaran yang dipakai adalah tematik which is mengarah pada tema yang telah ditentukan oleh pengawas sekolah dalam sebuah forum diskusi guru-guru tematik setempat. Bisa dibayangkan, setiap semester, sub bab selalu berubah. Dilain pihak, pengelolaan proses pembelajaran yang menyangkut tematik, baik umum maupun agama diserahkan sepenuhnya pada 2 orang yang mengelola kelas. Walhasil pembagian Jam Tatap Muka (JTM) tidak berimbang. Ada sih yang berimbang, namun harus melalui perdebatan panjang dan kelapangan hati untuk menerima pelajaran yang bukan skillnya. Sebutlah para guru yang sebenarnya memiliki kemampuan mengajar umum berbagi jam mengajarnya kepada partner yang notabene hanya memiliki skill di bidang agama saja atau sebaliknya. Lho koq begitu...!! sebab, kalo jatuhnya murni, maka JTM jadi nggak berimbang yakni yang umum harus mengajar selama 15 jam/minggu sedangkan yang agama hanya 8 jam/minggu. 2 X lipat khan.
Nah, aku termasuk yang murni terpisah. Jadi hal ini bener-bener menguras fisikku. Terutama dalam hal bathin. Sebenarnya sudah lama aku menyimpan perasaan kesal karena ketidakadilan JTM ini, belum lagi tunjangan yang berbeda jauh antara wali kelas utama dan pendamping, kalo wali kelas utama Rp 70.000,- kalo wali kelas pendamping Rp. 50.000,-
Ah... bedanya cuman Rp. 20.000,- ini. Bagi yang melihat perbedaan angka ini mungkin agak menyepelekan ya, namun bagiku uang sebesar itu sangatlah berharga, dan ketidakadilan yang lain adalah tupoksinya tak jauh berbeda entah mengkondusifkan kelas, menemani anak makan, mendisiplinkan mereka, melakukan rutinitas keseharian yang sudah baku di sekolah itu, membereskan masalah antar anak bahkan antar orangtua. Aku punya pengalaman buruk khusus untuk yang ini. Pernah suatu ketika, ada anak didikku yang bernama Ichsan bermasalah dengan anak yang bernama Sakti dari kelas yang berbeda. Nah, ceritanya, permasalahan itu diketahui oleh orangtua murid dan diserahkan awalnya ke wali kelas utama. Aku yang dulu bertugas sebagai wali kelas pendamping mencoba untuk belajar mengatasi permasalahan, namun apa yang terjadi, aku ditinggalkan begitu saja oleh sang wali kelas utama. Tidak selesai begitu saja. Ketika pengambilan raport, orangtua si Ichsan ini menanyakan perihal penyelesaian masalah tersebut. Mereka berkata ; 'koq nggak diselesaikan ?' Lalu, sang wali kelas utama mengatakan bahwasanya dia tidak berada di tempat dan permasalahan ditangani olehku yang notabene adalah wali kelas pendamping. Padahal kenyataannya, beliau ada disana namun tidak mencoba menangani hal tersebut. Sedangkan aku yang belum pernah sekalipun menangani suasana yang seperti itu hanya terdiam tak mampu berbicara. Kalo aku membela diri, akan terlihat bahwa sekolah tempatku bekerja tidak kompeten, maka aku memilih diam. Rupanya sikap diamku menimbulkan prasangka negatif. Mereka menyatakan menyesal bahwa wali kelas utama tidak ditempat dan mengerti bahwa aku tidak kompeten dalam menjalankan tugasku sebagai wali kelas pendamping. Ketika mendengar hal tersebut, betapa sakit hatinya diriku, terlebih lagi, wali kelas utama yang merupakan partnerku bekerja tidak membelaku. Saat itulah mentalku down. Aku sedih dan jujur kecewa dengan perlakuan partnerku.
Untungnya aku mampu melanjutkan hidupku walau trauma pasca kejadian itu belum sepenuhnya mampu kuhilangkan dari pikiranku, terlebih lagi tak ada permintaan maaf khusus dari partnerku mengenai perihal tersebut. Susahnya ditahun ajaran berikutnya yakni 2011/2012, aku dipasangkan lagi dengan beliau. Ya Alloh, aku bener2 berjuang lahir batin dengan kondisiku saat ini. :-(
Memang banyak sih kabar buruk mengenai temperamen beliau, bahkan para kepala-pun mafhum. Entah apa yang menjadi pertimbangan mereka sehingga aku dipasangkan lagi dengan beliau. Aku mencoba mengambil sisi positifnya. Dalam banyak hal, beliau termasuk orang yang sangat pandai dalam mengkondusifkan kelas. Sedangkan aku masih ingin banyak belajar mengenai hal tersebut. Sadar akan kekuranganku, aku tidak mengeluh dipasangkan lagi dengan beliau yang pernah membuatku trauma itu. Memang kuakui, temperamen beliau agak keras, namun beliau orang yang cukup kompeten, bahkan mampu memberi saran dan masukan agar aku lebih baik lagi walau terkadang cara yang digunakan agak kurang pas dihatiku, namun aku yakin diatas semua itu, selalu ada hikmah pembelajaran yang akan kupetik dan bekal buatku dalam menghadapi tantangan yang jauh lebih besar di kemudian hari.
Memang, selain menghadapi anak didik yang terkadang berbeda karakter, berbeda kepintaran, dan sebagainya, sebagai seorang makhluk sosial, kita juga dihadapkan pada permasalahan yang erat kaitannya dengan interaksi antar sesama dan kukatakan teman, itu tidak mudah. Walau tidak mudah, aku haus akan ilmu, terutama praktek di lapangan. Terkadang aku bersyukur, walau JTM-ku lebih banyak 2 X dari beliau, aku merasa diberi kesempatan untuk mempraktekkan ide-ideku, walau terkadang harus ada yang perlu disempurnakan disana-sini. Hanya, memang, seandainya kita menemukan partner yang bisa membesarkan kita or bisa bersinkronisasi dengan kita, maka bersyukurlah, karena itu juga merupakan suatu nikmat. Bagiku, aku yang sudah 2 tahun berpartner dengan orang yang sama mengimpikan suatu saat dapat bertemu dengan partner yang sama-sama "nge-klik" dalam mengelola kelas.
Meskipun demikian, saat ini adalah saat ini. Aku berjuang dengan potongan terbaik yang aku punya. Walau aku memiliki kekurangan disana sini. Aku bergerak dan menuju perubahan walau tertatih-tatih. Walau dengan sedikit bantuan.
Namun, aku tak mau ketidakdisiplinan menjadi salah satu bagian dari kebiasaan-kebiasaanku. Sudah begitu banyak guru-guru senior yang memperlihatkan sikap ketidakdisiplinan dalam aktivitas mereka, terutama dalam menemani anak-anak melakukan rutinitas yang telah dibakukan oleh sekolah. Begitu lemahnya mereka mengandalkan guru-guru yang lain menggantikan tugas mereka manakala semangat bekerja sedang down dan begitu defensifnya mereka ketika ditanya mengapa mereka tidak melakukan tugas mereka. Dan sudah setahun lebih aku seperti itu, sudah cukup, tak mau kucontoh sikap seperti itu. Oleh karenanya, dengan menjalankan tupoksiku, aku merasa menang dari diriku yang dulu.
Entah apa yang akan terjadi besok. Entahlah ? Aku berharap esok lebih baik daripada hari ini. Amin

Comments

Popular posts from this blog

Tasawwul (Meminta-minta)