in memorian ; my neighbours wedding
Hari Sabtu, tanggal 17 September 2011 adalah hari bahagia untuk tetanggaku sekaligus teman waktu masa TK. Hari itu adalah hari perkawinannya bersama pria yang dia sukai yang ternyata adalah tetangga depan rumahnya.
Sayangnya, aku tak ikut memeriahkan acara tersebut. Bukan karena aku banyak kerjaan walau yaa.. kuakui saat ini begitu banyak hal yang harus kutangani. Namun lebih kepada kebiasaan yang mereka lakukan ketika merayakan sebuah kegiatan entah itu 17 agustusan, malam tahun baru, terlebih lagi hari dimana mereka merayakan pernikahan anak gadisnya.
Tau nggak, bloggers? Kebiasaan apa sih yang membuat aku enggan datang untuk merayakan hari bahagia teman masa TK-ku.
Ada sebuah kebiasaan yang mana kebiasaan itu tidak ada, hanya semenjak mereka menjadi tetanggaku lah kebiasaan itu muncul. Kebiasaan menghidupkan musik dangdut keras-keras hingga tengah malam. Bagi sebagian orang, mungkin kebiasaan itu tidak mengganggu or bahkan asyik-asyik aja karena bisa ikut berjoget ria. Ya... emang sih, lagu dangdut itu ibarat ciri khas negeri kita, Indonesia. Wong, dikukuhkan juga koq oleh lagu yang dinyanyikan oleh Project Pop ; Dangdut is the music of my country. Dalam hal ini sih, aku nggak melarang mereka yang menyukai musik dangdut untuk tidak menghidupkan asalkan menyetel lagu itu tidak dengan suara yang luar biasa keras hingga membuat orang tidak bisa tidur di pertengahan malam. Nah ini dia bloggers mania, kebiasaan yang bener-bener aku benci dari tetanggaku ini. Andaikan rumahnya besar, bertanah luas seperti halnya puri dengan taman yang cakupannya luas, mungkin nggak masalah karena nggak ada yang merasa terganggu, namun masalahnya dengan keadaan yang saat ini terjadi adalah jarak antar rumah hanya dibatasi selembar dinding, so kebayang khan betapa terganggunya aku, apalagi kamarku yang bersebelahan dengan TPK (Tempat Kejadian Perkara). Jadi, gimana aku nggak benci saudara-saudara? :-(
Memang sih, tetanggaku ini orang tuanya udah pensiunan. Anaknya banyak, termasuk anak gadisnya yang sudah berhasil bekerja di bagian hukum, entah swasta atau negeri, aku nggak pernah menanyakan. Malas. Karena udah terlanjur tak suka dengan kebiasaan yang mereka bawa ke daerah tempat tinggalku.
Ujung-ujungnya, ketika hari perkawinan, mereka menyewa organ tunggal dan berjoget di bawah panggung yang telah disediakan sembari memberi saweran pada penyanyi yang berpakaian seronok. Aku tahu hal ini dari adekku, karena ketika perkawinan itu berlangsung, aku tak ada di tempat. Aku menginap di hotel. Nggak tahan aku dengan kelakuan tetanggaku. Bahkan menjelang hari H-nya, atau saat hari Sabtu, aku menemukan beberapa botol bir merek Guinea bertebaran di tempat sampah kepunyaan tetanggaku yang berada di tepat di depan rumahku.
Ya Alloh, tetanggaku adalah musibahku. Entah sudah seberapa kerusakan yang terjadi di lingkunganku. Aku sendiri nggak tahu. Aku muak. Dan tak tahu apa yang harus kulakukan.
Mungkin bloggers mania bertanya, kenapa nggak ditegur aja ? Percayalah sobat, sudah ditegur oleh orang yang paling tua di lingkungan rumahku. Namun dasar orang bebal menyebalkan. Tetap saja dia acuh dan berkata : 'Rumah, rumah gw, Alat, alat gw, kenapa elo yang sewot' kepada orang yang paling tua di lingkunganku. Gila, kurang ajar banget khan. Secara gitu lho.. orang yang paling tua aja digituin ma dia.
Nah, sekarang kamu tau khan, betapa sewotnya aku dengan mereka. Kenapa nggak dikucilkan aja? Mungkin memang lingkunganku sudah sedemikian parah rusaknya sehingga norma sudah tidak dipedulikan lagi. Mungkinkah karena disekitarku begitu banyak orang-orang menengah kebawah sehingga ketika ditawarkan kesenangan seperti itu, mereka seperti hilang kendali.
Bajingan. Ya... banyak bajingan yang berkeliaran di area sekitar lingkungan rumahku. Maukah kau tahu, bagaimana aku mendeskripsikan lingkungan tempat tinggalku. Lokasi yang tak jauh dari komplek kuburan Cina yang tak terawat dibatasi oleh sebaris kali yang kotor karena limbah semen dan bertetangga pula dengan rumah-rumah bedeng yang berpondasi seadanya. Cukup aman bagi seorang bajingan untuk tumbuh di daerah yang kugambarkan tadi. Itulah, kenapa aku ingin bertanya baik kepada pemerintah orde baru ataupun orde lama atau pemerintah reformasi masa megawati maupun gusdur, kenapa mengabaikan masalah seperti fakir miskin dan anak-anak jalanan? Padahal, hal tersebut telah diatur dalam UUD 45 Pasal 34 ; Fakir Miskin dan Anak terlantar diperlihara oleh negara. Bah... bullshit. Bisa kita lihat sekarang, dampak dari semua itu. Lalu, siapa sih yang mengatakan bahwa Jakarta itu kota yang gampang nyari duit, kota tempat hiburan yang akhirnya banyak orang-orang yang sebenarnya mampu dan bisa berkembang didaerah menggadaikan tanahnya lalu pergi mengadu nasib ke Jakarta.
Yah, banyak sih yang beruntung namun tak sedikit juga yang buntung... Ketimbang jadi orang malah terpuruk menjadi pecundang. Udah tahu harga tanah mahal, beruntunglah para pengusaha properti.
Kembali pada masalah dekadensi moral. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat fenomena yang terjadi di lingkunganku. Kenapa nggak minta bantuan pak RT saja..
Sebetulnya aku salut dengan pak RT. Beliau adalah orang yang berperangai lembut. Maka (mungkin) tatkala beliau mencoba menegur, orang-orang berpikir bahwa beliau ikut ambil bagian dalam tabiat shohibul bait. KAsihan beliau. Habis beliau ikut duduk menikmati kegiatan orang-orang itu sih. Coba nggak ikut ambil bagian.
Well, aku hanya bisa berdoa dalam hati agar ada salah satu anaknya yang menjadi ustadzah or kyai biar bisa menyadarkan ortunya akan kebiasaan yang kalo dibilang sih nakhruh ya, karena mengganggu beberapa orang karena kegiatannya. Dengan melihat karakter mereka, aku hanya bisa menarik kesimpulan bahwa yang bisa meluruskan kebiasaan mereka adalah orang intern mereka sendiri.
Hanya saran buat pemerintah. Berhati-hatilah dengan fenomena kemiskinan. Jangan sampai terorganisir karena pengabaian kalian yang tak berdasar seperti yang terjadi di masa pemerintahan sebelumnya. Banyak orang-orang miskin yang berubah menjadi monster karena ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi dunia. Bahkan ketika yang miskin terangkat kehidupannya dengan jalan ikut ke dalam sebuah organisasi yang (mungkin) membahayakan stabilitas nasional, bagi mereka, itu bukan urusan mereka. Tau kenapa? Karena....
Cobalah tanya kepada mereka bahkan kepada mereka yang tega menjual tetangga mereka sendiri demi kedudukan mereka
Sayangnya, aku tak ikut memeriahkan acara tersebut. Bukan karena aku banyak kerjaan walau yaa.. kuakui saat ini begitu banyak hal yang harus kutangani. Namun lebih kepada kebiasaan yang mereka lakukan ketika merayakan sebuah kegiatan entah itu 17 agustusan, malam tahun baru, terlebih lagi hari dimana mereka merayakan pernikahan anak gadisnya.
Tau nggak, bloggers? Kebiasaan apa sih yang membuat aku enggan datang untuk merayakan hari bahagia teman masa TK-ku.
Ada sebuah kebiasaan yang mana kebiasaan itu tidak ada, hanya semenjak mereka menjadi tetanggaku lah kebiasaan itu muncul. Kebiasaan menghidupkan musik dangdut keras-keras hingga tengah malam. Bagi sebagian orang, mungkin kebiasaan itu tidak mengganggu or bahkan asyik-asyik aja karena bisa ikut berjoget ria. Ya... emang sih, lagu dangdut itu ibarat ciri khas negeri kita, Indonesia. Wong, dikukuhkan juga koq oleh lagu yang dinyanyikan oleh Project Pop ; Dangdut is the music of my country. Dalam hal ini sih, aku nggak melarang mereka yang menyukai musik dangdut untuk tidak menghidupkan asalkan menyetel lagu itu tidak dengan suara yang luar biasa keras hingga membuat orang tidak bisa tidur di pertengahan malam. Nah ini dia bloggers mania, kebiasaan yang bener-bener aku benci dari tetanggaku ini. Andaikan rumahnya besar, bertanah luas seperti halnya puri dengan taman yang cakupannya luas, mungkin nggak masalah karena nggak ada yang merasa terganggu, namun masalahnya dengan keadaan yang saat ini terjadi adalah jarak antar rumah hanya dibatasi selembar dinding, so kebayang khan betapa terganggunya aku, apalagi kamarku yang bersebelahan dengan TPK (Tempat Kejadian Perkara). Jadi, gimana aku nggak benci saudara-saudara? :-(
Memang sih, tetanggaku ini orang tuanya udah pensiunan. Anaknya banyak, termasuk anak gadisnya yang sudah berhasil bekerja di bagian hukum, entah swasta atau negeri, aku nggak pernah menanyakan. Malas. Karena udah terlanjur tak suka dengan kebiasaan yang mereka bawa ke daerah tempat tinggalku.
Ujung-ujungnya, ketika hari perkawinan, mereka menyewa organ tunggal dan berjoget di bawah panggung yang telah disediakan sembari memberi saweran pada penyanyi yang berpakaian seronok. Aku tahu hal ini dari adekku, karena ketika perkawinan itu berlangsung, aku tak ada di tempat. Aku menginap di hotel. Nggak tahan aku dengan kelakuan tetanggaku. Bahkan menjelang hari H-nya, atau saat hari Sabtu, aku menemukan beberapa botol bir merek Guinea bertebaran di tempat sampah kepunyaan tetanggaku yang berada di tepat di depan rumahku.
Ya Alloh, tetanggaku adalah musibahku. Entah sudah seberapa kerusakan yang terjadi di lingkunganku. Aku sendiri nggak tahu. Aku muak. Dan tak tahu apa yang harus kulakukan.
Mungkin bloggers mania bertanya, kenapa nggak ditegur aja ? Percayalah sobat, sudah ditegur oleh orang yang paling tua di lingkungan rumahku. Namun dasar orang bebal menyebalkan. Tetap saja dia acuh dan berkata : 'Rumah, rumah gw, Alat, alat gw, kenapa elo yang sewot' kepada orang yang paling tua di lingkunganku. Gila, kurang ajar banget khan. Secara gitu lho.. orang yang paling tua aja digituin ma dia.
Nah, sekarang kamu tau khan, betapa sewotnya aku dengan mereka. Kenapa nggak dikucilkan aja? Mungkin memang lingkunganku sudah sedemikian parah rusaknya sehingga norma sudah tidak dipedulikan lagi. Mungkinkah karena disekitarku begitu banyak orang-orang menengah kebawah sehingga ketika ditawarkan kesenangan seperti itu, mereka seperti hilang kendali.
Bajingan. Ya... banyak bajingan yang berkeliaran di area sekitar lingkungan rumahku. Maukah kau tahu, bagaimana aku mendeskripsikan lingkungan tempat tinggalku. Lokasi yang tak jauh dari komplek kuburan Cina yang tak terawat dibatasi oleh sebaris kali yang kotor karena limbah semen dan bertetangga pula dengan rumah-rumah bedeng yang berpondasi seadanya. Cukup aman bagi seorang bajingan untuk tumbuh di daerah yang kugambarkan tadi. Itulah, kenapa aku ingin bertanya baik kepada pemerintah orde baru ataupun orde lama atau pemerintah reformasi masa megawati maupun gusdur, kenapa mengabaikan masalah seperti fakir miskin dan anak-anak jalanan? Padahal, hal tersebut telah diatur dalam UUD 45 Pasal 34 ; Fakir Miskin dan Anak terlantar diperlihara oleh negara. Bah... bullshit. Bisa kita lihat sekarang, dampak dari semua itu. Lalu, siapa sih yang mengatakan bahwa Jakarta itu kota yang gampang nyari duit, kota tempat hiburan yang akhirnya banyak orang-orang yang sebenarnya mampu dan bisa berkembang didaerah menggadaikan tanahnya lalu pergi mengadu nasib ke Jakarta.
Yah, banyak sih yang beruntung namun tak sedikit juga yang buntung... Ketimbang jadi orang malah terpuruk menjadi pecundang. Udah tahu harga tanah mahal, beruntunglah para pengusaha properti.
Kembali pada masalah dekadensi moral. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat fenomena yang terjadi di lingkunganku. Kenapa nggak minta bantuan pak RT saja..
Sebetulnya aku salut dengan pak RT. Beliau adalah orang yang berperangai lembut. Maka (mungkin) tatkala beliau mencoba menegur, orang-orang berpikir bahwa beliau ikut ambil bagian dalam tabiat shohibul bait. KAsihan beliau. Habis beliau ikut duduk menikmati kegiatan orang-orang itu sih. Coba nggak ikut ambil bagian.
Well, aku hanya bisa berdoa dalam hati agar ada salah satu anaknya yang menjadi ustadzah or kyai biar bisa menyadarkan ortunya akan kebiasaan yang kalo dibilang sih nakhruh ya, karena mengganggu beberapa orang karena kegiatannya. Dengan melihat karakter mereka, aku hanya bisa menarik kesimpulan bahwa yang bisa meluruskan kebiasaan mereka adalah orang intern mereka sendiri.
Hanya saran buat pemerintah. Berhati-hatilah dengan fenomena kemiskinan. Jangan sampai terorganisir karena pengabaian kalian yang tak berdasar seperti yang terjadi di masa pemerintahan sebelumnya. Banyak orang-orang miskin yang berubah menjadi monster karena ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi dunia. Bahkan ketika yang miskin terangkat kehidupannya dengan jalan ikut ke dalam sebuah organisasi yang (mungkin) membahayakan stabilitas nasional, bagi mereka, itu bukan urusan mereka. Tau kenapa? Karena....
Cobalah tanya kepada mereka bahkan kepada mereka yang tega menjual tetangga mereka sendiri demi kedudukan mereka
Comments