Tasawwul (Meminta-minta)
Bismillahirrahmaniraahim... Assalamu’alaikum warohmatullaahi
wabarokaatuhu
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai
Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi salah satu
dari 3 orang. Yaitu: 1.Orang menanggung beban maka halal baginya untuk meminta
-minta sampai dia mendapatkan hartanya kembali, 2.Orang yang tertimpa kegagalan
panen dalam keadaan hartanya telah dia habiskan untuk modal menanam, maka halal
baginya meminta-minta sampai dia mendapatkan harta penegak kehidupannya.
3.Orang yang tertimpa kefakiran sampai disaksikan oleh 3 orang cerdas dari
kaumnya bahwa dia tertimpa kefakiran, maka halal baginya meminta-minta sampai
dia mendapatkan penegak bagi kehidupannya. Adapun selain 3 orang di atas maka
itu adalah harta haram yang dimakan oleh pelakunya, wahai Qabishah!” (HR.
Muslim: 1730, An- Nasa’i 2533, Abu Dawud 1397).
Penjelasan Hadist
larangan Meminta Minta termasuk MENGEMIS, dilarang meminta
kecuali tiga orang. Mengemis atau meminta-minta di-istilahkan dengan bahasa
Arab sebagai “tasawwul ” Dalam Al- Mu’jamul Wasith disebutkan : DEFINISI
TASAWWUL ATAU MENGEMIS “Tasawwala (bentuk fi’il madhy dari tasawwul) artinya
meminta-minta atau meminta pemberian ”(Al-Mu’jamul Wasith: 1/465).
Tasawwul atau
meminta-minta yang dicela adalah meminta harta orang lain untuk kepentingan
sendiri atau pribadi. Al-Allamah Abdur Rauf Al-Munawi Rahimahullah berkata: “
Sabda beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam (Sesungguhnya meminta-minta)
maksudnya adalah menuntut dari manusia agar mereka memberikan sebagian harta
mereka untuk dirinya ” (Faidhul Qadir: 2/493).
Al-Allamah Muqbil Al-Wadi’i
Rahimahullah juga menerangkan batasan tasawwul dalam kitab Dzammul Mas’alah
(Tercelanya Meminta-Minta): “ Kelompok kedua (dari orang yang buruk dalam
penggunaan harta): adalah kaum yang berusaha mencuri untuk mengambil harta zakat
padahal mereka bukanlah golongan yang berhak menerimanya. Kemudian harta itu
mereka gunakan untuk kepentingan pribadi mereka ” (Dzammul Mas’alah: 31)
Mengemis atau
tasawwul juga bisa diartikan dengan upaya meminta harta orang lain bukan untuk
kemaslahatan agama melainkan untuk kepentingan pribadi. Al-Hafizh Ibnu Hajar
Rahimahullah berkata: “Perkataan Al-Bukhari (Bab Menjaga Diri dari
Meminta-minta) maksudnya adalah meminta-minta sesuatu selain untuk kemaslahatan
agama ” (Fathul Bari: 3/336). Dari keterangan di atas, kita bisa mengambil
pelajaran bahwa batasan tasawwul atau “mengemis” adalah meminta untuk
kepentingan diri sendiri bukan untuk kemaslahatan agama.
HADITS-HADITS YANG BERKAITAN DENGAN TASAWWUL
Di antaranya adalah
hadits : Abdullah bin Umar Radhiyallaahu ‘anhuma bahwa RasulullahShallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda: “ Meminta-minta akan senantiasa ada pada salah
seorang dari kalian sampai dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak ada
sepotong daging pun di wajahnya ” (HR. Muslim: 1724, Ahmad: 4409)
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “
Barangsiapa meminta kepada manusia harta mereka untuk memperbanyak hartanya
maka dia hanyalah sedang meminta bara api maka hendaknya dia mempersedikit
ataukah memperbanyak ” (HR. Muslim: 1726, Ibnu Majah: 1828, Ahmad: 6866 dari
hadits Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu) Termasuk dalam konteks tasawwul atau
meminta untuk kepentingan diri-sendiri adalah hadits tsb diatas (Qabishah bin
Mukhariq Al-Hilali ) Ketiga orang di atas (dalam hadist pembukaan diatas) adalah
termasuk orang-orang yang tasawwul atau meminta untuk diri-sendiri yang
mendapatkan rukhsah (keringanan) dari Allah. Adapun selain ketiga orang di atas
maka diharamkan meminta-minta untuk kepentingan sendiri.
Teladan Kemandirian Muhammad Sallahu 'Alaihi Wasallam
Rasulullah Sallahu 'Alaihi Wasallam juga mengajarkan umatnya untuk hidup
mandiri. Kalau kita menelusuri jejak hidup beliau, akan kita temukan betapa
beliau seorang yang sangat mandiri. Beliau tak segan mengerjakan pekerjaan kasar
sebagaimana dikerjakan orang kebanyakan. Beliau sering menambal sendiri
jubahnya, menjahit sepatunya, dan melakukan setumpuk pekerjaan rumah. Bagi
beliau, pekerjaan kasar tidak mengurangi sedikit pun kemuliaannya sebagai
Utusan Allah. Suatu hari Nabi SAW dan para Sahabat melakukan sebuah perjalanan
dan perlu berkemah. Ketika hendak mengolah makanan, mereka berebut untuk ambil
bagian. Salah seorang Sahabat berkata, “Aku yang menyembelih kambingnya.” Yang
lain menyahut, “Aku yang mengulitinya.” Rasulullah Sallahu 'Alaihi Wasallam
tidak mau kalah. Beliau berkata, “Aku yang mencari kayu bakarnya.” Mendengar
inisiatif Rasulullah SAW tersebut, para Sahabat kemudian berkata, “Biarkan kami
saja yang mengerjakan semuanya. Lebih baik Engkau beristirahat saja.” Rasulullah
Sallahu 'Alaihi Wasallam kemudian bersabda, “Aku tahu, kalian pasti tidak
menghendaki aku mengerjakan hal ini, tapi Allah tidak suka melihatku
mendapatkan perlakuan istimewa seperti ini. Setelah itu, beliau meninggalkan
para Sahabat menuju padang pasir untuk mengumpulkan kayu bakar. Bagi sebagian
pemimpin, mengerjakan pekerjaan kasar seperti mencari kayu bakar akan dianggap
hina, atau setidaknya mengurangi gengsi. Akan tetapi bagi Rasulullah Sallahu
'Alaihi Wasallam, pekerjaan apapun yang dikerjakan secara jujur, professional,
dan bermanfaat untuk sesama, maka pekerjaan itu adalah mulia. Kemuliaan dan
kehormatannya tidak berkurang sedikit pun hanya karena beliau mengerjakan
pekerjaan kasar. Sebaliknya, beliau merasa bangga dan mulia jika bisa mengerjakan
sendiri tugasnya, termasuk tugas kerumahtanggaan. Rasulullah Sallahu 'Alaihi
Wasallam juga pernah pergi ke pasar dan pulangnya membawa beberapa keranjang
barang. Melihat Rasulullah SAW keberatan membawa barang-barangnya, para Sahabat
berinisiatif membawakannya. Namun, Rasululah Sallahu 'Alaihi Wasallam segera
menolaknya. Beliau bersabda, “Kamilah pemilik barang ini, maka kamilah yang
paling berhak membawanya.” Kemandirian yang ditekankan syariat adalah kemauan
untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan bekerja keras agar terhindar dari sikap
meminta-minta. Dalam ajaran Islam, meminta-minta adalah pekerjaan hina yang
harus dijauhi, kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Islam tidak melarang kaum
Muslim menerima pemberian orang lain, akan tetapi menjadi pemberi jauh lebih
baik dan mulia. Kita semua dianjurkan untuk memberi dan menjadi “tangan di
atas”.
Sebagai Muslim tampaknya kita perlu berkaca, sudah sejauh
mana kita menghayati dan mengamalkan kemandirian dalam kehidupan sehari-hari?
Ini akan menjadi tolak ukur untuk melihat kemandirian umat. Namun, tentu saja
makna kemandirian bukan berarti terlepas sama sekali dari kebutuhan untuk
saling membantu dan bekerja sama.
Kalau kita simak al-Qur`an dan al-Hadits, kita tidak akan
menemukan satu pun anjuran atau perintah kepada kaum Muslim untuk “mandiri”.
Sama halnya, kita juga tidak menemukan larangan untuk “bergantung” kepada
sesama. Ini karena manusia diciptakan begitu lemah, sehingga di antara mereka
harus terjalin interaksi yang saling membutuhkan. Coba bayangkan! Ketika awal
kelahirannya, manusia tak ada yang langsung bisa berdiri dan berjalan. Bebeda
dengan binatang yang hanya dalam hitungan jam bisa segera berdiri, berjalan,
bahkan berlari. Malah ada di antara mereka yang bisa langsung mencari makan di hari
kelahirannya. Tapi bayi manusia, jangankan mencari makan sendiri, sekadar makan
saja masih harus disuapi. Begitu pula dalam urusan buang hajat, orang tualah
yang masih memegang tanggung jawab penuh, karena bayi manusia tidak bisa
melakukan apapun, kecuali menangis. Jika kemandirian itu diartikan sebagai
lepasnya manusia dari semua ketergantungan kepada sesamanya, maka sampai kapan
pun hal itu tidak akan pernah terjadi. Sampai mati manusia tetap membutuhkan
pertolongan orang lain. Sampai-sampai ada ungkapan, “Tak pernah ada mayat yang
bisa berjalan sendiri ke kuburnya.”
Mari sejenak kita merenung! Saat kita makan, berapa tangan
yang ikut bekerja sehingga makanan itu sampai ke meja makan kita? Di sana ada
petani yang menanam padi, buruh sawah yang ikut mengolah, pengepul yang
mengumpulkan hasil panen, pedagang yang berjualan, dan kuli panggul yang
mengangkat barang-barang belanjaan kita. Tak lupa, ada pembantu rumah tangga
yang memasak makanan. Itu baru nasi, belum lauk, sayur-mayur, atau buah-buahan.
Bisakah manusia hidup tanpa pertolongan dan bantuan orang lain? Itulah sebabnya
al-Qur`an tidak menganjurkan, apalagi memerintahkan, kita mandiri. Sebaliknya,
manusia harus tolong menolong. Allah Subhana wataa’ala berfirman : “Dan tolong
menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaaan, dan janganlah kamu tolong
menolong dalam dosa dan permusuhan. (Al-Maidah [5]: 2)
Semangat Memberi Yang dimaksudkan pada ayat di atas adalah
antar orang yang berkemampuan, bukan antara orang yang mampu dengan orang yang
tidak mampu, atau antara orang yang kuat dengan orang yang lemah. Posisi
keduanya harus seimbang dan setara. Bukan termasuk saling menolong jika ada
yang selalu meminta. Sebab, orang yang meminta pada dasarnya tidak
berkemampuan. Hubungan keduanya tidak setara. Yang satu di atas, yang kedua di
bawah. Rasulullah Sallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Tangan di atas itu lebih
baik dari tangan di bawah.” (Riwayat Bukhari). Maka kemadirian manusia haruslah
diartikan sebagai kemampuan untuk menjadi “tangan di atas”, bukan “tangan di
bawah”. Orang yang mandiri tak pernah rela menjadikan dirinya berada dalam
posisi “tangan di bawah”. Ia selalu ingin bisa memberi, bukan meminta;
membantu, bukan dibantu; menolong, bukan ditolong; menjadi subyek, bukan obyek;
wallahu ta'ala a'lam bish shsawab SEMOGA BERMANFAAT , INSYA'ALLAH AAMIIN! :-)
<3 p="">
3>
Comments