Diary, 4 Desember 2011

Hari Minggu biasanya aku pakai untuk beres2 kamar dan membantu ortu membersihkan rumah dan kegiatan kekeluargaan lainnya, namun hari ini berbeda. Aku dan teman-temanku akan mengikuti seminar pendidikan yang narasumbernya adalah orang2 besar di dunia pendidikan. So excited. That's what i feel that time.
Berangkat jam 7 pagi dari rumah. Berhubung lokasinya aku belum begitu yakin, pun keluargaku, maka aku berangkat menuju tempat seminar lebih awal. Ternyata tempatnya tak begitu jauh dari domisiliku. Alhamdulillah.
Materi yang disampaikan juga menarik, ada teori-teori yang bisa menjadi pencerahan bagiku. Begitulah orang2 besar yang sudah lama berkecimpung didunianya. Banyak makan asam garam. Dan tibalah waktunya pertanyaan. Awalnya, senang banget dengan sesi ini karena aku berharap dapat memaksimalkan apa yang telah kuterapkan didalam kelas. Well, guest what?
Mungkin namanya juga orangtua ya. Bukan jawaban yang kudapat, namun pertanyaan balik yang dilontarkan oleh sang narasumber. Jawabannya ada benarnya juga, namun kondisi kelasku tidak seperti pokok permasalahan yang aku pertanyakan. So, jawabannya rada nggak nyambung or terkesan menyalahkan guru yang mengelola kelas tersebut (menurut persepsiku sendiri), padahal, aku belum menggambarkan keseluruhan suasana pembelajaran yang bermasalah itu. Sempet down juga. Padahal maksudku bukan begitu.
But, kurasa aku nggak akan ambil pusing dengan jawaban yang diberikan sang nara sumber. Menurutku, setiap orang punya pengalaman berbeda, kelebihan dan kekurangan yang berbeda, permasalahan yang dihadapi berbeda sehingga terkadang menimbulkan perspektif yang berbeda. Wajar, karena kejadian di lapangan umumnya berbeda dengan hasil yang dipaparkan teori-teori pengelolaan kelas, apalagi kalau dikelas itu ada siswa-siswa berkebutuhan khusus, seperti autis, hiperaktif, diseleksia. Ada lho anakku yang kelas tiga belum mampu menulis kata dengan huruf yang tepat.
Dizaman ini, mungkin kendala yang dihadapi guru berbeda dengan keadaan yang dihadapi oleh guru dizaman belum ada internet, HP, BB. Maka ada beberapa persoalan yang terkadang menyerempet pada media informasi berikut penggunaannya. Walaupun begitu, tetap ada pembelajaran atau trik yang diberikan oleh orang-orang yang berpengalaman puluhan tahun di bidang pendidikan. Hanya saja, berpegang dari apa yang kualami di seminar itu, dimana aku mengalami ketidakpuasan atas jawaban yang diberikan narasumber, aku tetap akan mendengarkan petuah maupun trik yang diberikan oleh orang yang berjaya di masa keemasannya. Akan tetapi, tetap aku yang memilih apa hanya sekilas mendengarkan atau diadaptasi dalam suasana pembelajaran, kalo perlu diimprovisasi, agar hasilnya lebih maksimal. Meskipun, narasumber itu lahir lebih dahulu dariku, terjun dibidang yang sama dariku sudah sejak puluhan tahun, namun permasalahan terus berkembang. Bukan bermaksud untuk sombong, tapi aku akan mempercayai diriku dalam mengatasi masalah yang terjadi dalam kelas, yang mana ada anak yang diseleksia maupun hiperaktif menjadi satu di kelasku dan aku setuju dengan sang narasumber, mereka juga berhak untuk belajar. Mungkin kendala yang benar-benar aku ingin tuntaskan adalah kekondusifan kelas.
Berangkat dari fungsi pendidikan adalah, salah satunya, membentuk watak, maka aku akan tetap memakai trikku, yakni mengacu pada kontrak belajar dan penerapan konsekuensi. Cara itu cukup manjur, walau berimbas pada adanya beberapa anak yang menjadi takut dengan sendirinya karena keberadaan aturan itu dan aku sebagai pengawas berlangsungnya suatu konsekuensi yang dijalankan.
Aku ingin sekali mendapatkan masukan agar tercipta suasana pembelajaran yang mampu membuat seluruh siswa mengerti akan apa yang kuajarkan, walau mereka berbeda daya tangkap dan karakter. Akan tetapi, mengingat apa yang kualami hari ini, aku akan tetap mencari dalam diriku sendiri (walau tidak menutup kemungkinan aku kan bertanya), karena pada dasarnya, jawaban sudah ada dalam diri kita sendiri. Kita yang menentukan untuk mau mencoba melaksanakannya or enggak.
Disatu sisi, aku ingin mengopinikan pendapatku mengenai beban kerja guru. Berat lho jadi guru. Bener. Tugas guru sekarang bukan hanya mengajar saja, menulis raport atau hanya memberi latihan di buku PR. Mereka menjadi contoh bagi muridnya sekaligus menjadi para pengembang karakter murid-muridnya. Tak hanya itu, beban administrasi, wuih jangan ditanya. RPP, Silabus, Soal, KKM, belum kisi-kisi dan lain sebagainya. Belum dibagian eksternal seperti permasalahan dengan orangtua murid yang terkesan cuek dengan anaknya, atau yang broken home sehingga kondisi tersebut berimbas pada perilaku anak, atau pada sesama rekan guru, entah karena sama-sama mengelola kelas atau dalam wujud kerjasama kepanitiaan suatu acara. Ditambah lagi dengan masalah internal, seperti semangat, tekad memberikan yang terbaik.
Jujur saudara-saudara. Motivasi adalah bagian paling berat. Tak jarang motivasi seorang guru itu naik turun. Entah karena kondisi keuangan, hubungan dengan pimpinan atau rekan kerja, kenakalan murid-murid sampai rasa malas yang nggak ketahuan asalnya datang tiba-tiba yang mengakibatkan motivasi itu hilang timbul. So, bloggers mania. Kalo kalian suka berbisnis, maka ini bisa menjadi salah satu alternatif dalam mengembangkan bisnis kalian. Bener lho. Bukan hanya sales or manager aja yang perlu pelatihan motivasi. Tapi, itu menurutku lho, hehehhe..
Teori, pelatihan, workshop dan sebagainya sudah banyak dilaksanakan, tapi kenapa masih banyak guru yang mengeluh? Ya itu.... karena kurangnya motivasi.
Bagaimana aku berjuang mengatasi motivasiku yang bergerak dinamis? Kadang timbul kadang tenggelam.
Kuakui teman-teman, inspirasi dari sebuah cerita dapat membangkitkan semangatku. Ketika asaku hampir hilang, sebuah buku penuh inspirasi bisa membangkitkan semangatku. Sebut saja Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov, 5 Menara, atau yang tak ada hubungannya dengan pendidikan seperti Mimpi Sejuta Dollar, Seven Habit, bahkan yang jelas-jelas menganggap pendidikan itu tidak penting seperti karya Robert T Kiyosaki dan buku-buku lainnya yang menceritakan bahwa orang yang sukses tersebut tidak sukses dalam menjalani masa pendidikannya. Walaupun begitu, tetap saja membakar emosi dan membuatku bangkit lagi. Nah, ini bisa jadi alternatif lagi nih, buat para penulis buku.
Kukatakan ya, (entah menurut kalian benar atau nggak, tergantung persepsi masing-masing), jika ditanya bagaimana guru mendedikasikan hidupnya pada pekerjaan ini, guest what.....
Mereka (kebanyakan) akan membilang "Capeeee" dengan alasan yang bermacam-macam. Entah masalah administrasinya yang banyak lha, or masalah kenakalan anak didik yang nggak bisa ditangani, or kekesalan terhadap rekan kerja, or ketidakpedulian orangtua, or masalah duit, or... or... or...
Jadi, masalah motivasi bisa menjadi hal yang urgen. But, tetap tergantung bagaimana cara memandangnya. Okey...???

Comments

Popular posts from this blog

Tasawwul (Meminta-minta)